Semarang masa penjajahan

Latar Belakang Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah. Kota ini terletak di Pulau Jawa sebelah utara yang berbatasan langsung dengan kota demak. Kota ini adalah kota industi yang cukup padat. Semarang sendiri pada dewasa ini berkembang pesat dalam bidang perindustrian dan pariwisatanya. Semarang sendiri meruapakan 5 kota terbesar di Indonesia. Hal ini karena populasi penduduk semarang yang sangat pesat. Sebagai kota di pesisir pantai utara jawa, Semarang pada dulunya menjadi kota dengan desain kolonial yang kuat. Semarang pada masa kolonial sendiri menjadi kota pelabuhan dangan disamping Batavia dan Surabaya. Peninggalan pada masa kolonial di Kota Semarang sangat terlihat dengan bukti yaitu bangunan-bangunan yang terletak di Kota Lama Semarang yang sampai sekarang masih dapat dijumpai. Semarang sempat dijuluki juka dengan nama Litle Netherland yang berarti belanda kecil karena kemiripan arsitektur kotanya dengan yang ada di negri belanda. Semarang yang besar saat ini tentunya dulunya mempunyai sejarah panjang dalam tat kota dan perkembangan penduduknya. Makalah ini akan mencoba menggali sejarah kota semarang. PEMBAHASAN A. Sejarah Kota Semarang sebelum kolonial Lahirnya Kota Semarang diawali pada tahun 1938 saka (1476 M), dengan datangnya utusan dari kesultanan Demak yang bernama Ki Ageng Pandan Arang (Sunan Tembayat). Beliau mengemban tugas untuk mengislamkan wilayah bagian barat kesultanan Demak, setelah memperoleh daerah yang tepat sebagai pusat penyebaran agama Islam (sekarang di Pedamaran) beliau kemudian membangun masjid dan pesantren di sisi barat yang berada di pinggiran sungai/kali Semarang. Ki Ageng Pandan Arang adalah bupati pertama Semarang, yang diangkat langsung oleh Sultan Demak Bintoro. Di daerah yang subur itu, tumbuh sebuah pohon asam (Jawa: Asem) yang masih jarang (Jawa: Arang). Dan tempat itu kemudian dikenal dengan nama daerah asem-arang/Semarang. Fungsi kawasan Semarang pada waktu itu dijadikan sebagai kawasan perniagaan Kesultanan Demak. Setelah kedatangan Belanda, kota Semarang pada abad 18 dikenal sebagai Lojining Nagoro Sumawis (tempat yang semuanya tersedia), dengan tanah seluas 25 ha. Dibawah kepemimpinan Hindia Belanda, kota Semarang mengalami 3 kali perubahan batas kota termasuk perluasan kota. Sejak abad ke-19, Semarang disebut sebagai Kota Batavia kedua karena pertumbuhan wilayahnya lebih spesifik, yang kemudian diikuti perkembangan wilayah di luar Semarang, Hal ini ditandai dari kedatangan para pedagang timur asing ke Semarang. Antara tahun 1920-1930 kota Semarang telah mempunyai penduduk dari berbagai etnis: Jawa, Cina, Arab, Melayu, India dan orang Eropa sehingga telah merwarnai corak kota Semarang B. Perkembangan Kota Semarang masa Kolonial. Kondisi Kota Semarang dibawah kolonialisme Belanda perkembangannya cukup pesat dengan dibangunnya berbagai fasilitas dan bangunan administratif untuk kepentingan mereka. Pembangunan sarana dan prasarana seperti jalan raya, transportasi kereta api, stasiun, pasar, dll. Pada tanggal 16 Juni 1864 Belanda membangun rel kereta api yang pertama di Hindia Belanda yang berada di Kota Semarang, pembangunannya dimulai dari Semarang menuju Kota Solo dan Kedungjati, Surabaya, Magelang serta Yogyakarta dan kemudian dibarengi dengan pembangunan 2 stasiun kereta api yang masih ada hingga sekarang yaitu stasiun Tawang dan Poncol Semarang. Di abad ke XIV, pemerintah kolonial Belanda juga membangun pelabuhan Tanjung Emas. Bagi pihak Belanda pelabuhan ini memiliki fungsi yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan nasional dan internasional (The World Market 1870-1900). selain pelabuhan sunda kelapa di Batavia dan pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Pelabuhan Tanjung Emas selain sebagai pusat perdagangan ekspor dan impor, juga dijadikan sebagai jalur masuk barang-barang dari Eropa yang akan dipasarkan di Jawa. Sekitar abad 18, Kota Semarang menjadi pusat perdagangan dan kawasan tersebut pada masa sekarang ini disebut kawasan Kota Lama. Di akhir abad ke 17 Semarang menjadi salah satu tujuan utama para pedagang dari tionghoa, setelah Batavia dan Surabaya. Dimasa kekuasaan VOC ini (1678-1799), pendatang dari Cina telah mendominasi dalam bidang perdagangan. Hal ini belum termasuk kebijakan-kebijakan VOC yang diterapkan secara diskriminatif kepada orang-orang Tionghoa. Di Semarang Orang Tionghoa menguasai perdagangan dari pedalaman kota, mereka melakukan perdagangan impor dari negeri asalnya melalui Batavia. Setelah VOC runtuh dan pemerintahan diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda, peran pedagang Cina tidak tergoyahkan, sektor perdagangan seperti perkebunan tebu, perdagangan ekspor-impor semakin kuat dominasinya oleh kalangan etnis tionghoa, meskipun banyak para pedagang-pedagang lainnya yang dari etnis Arab, India, Eropa dan Pribumi. Selanjutnya pada tahun 1857 berkembang layanan telegram yang menghubungkan antara Semarang – Ambarawa - Batavia – Surabaya. Dan di tahun 1884 Semarang mulai melakukan hubungan telepon jarak jauh antara Semarang-Jakarta dan Semarang-Surabaya, dengan dibukanya kantor Pos pertama di Semarang pada tahun 1885. Kegiatan perdagangan dan perindustrian di Kota Semarang telah berpengaruh dalam perubahan fisik spasial kota tersebut dengan terbentuknya pusat kota yang dikenal dengan nama Alun-alun yang digunakan sebagai pusat administrasi pemerintah kolonial Belanda. C. Terbentuknya pemukiman di Kota Semarang. Kebijakan diskriminatif pemerintah Hindia Belanda Nampak dalam pembedaan ras antar penduduk. Ada tiga golongan kelompok ras utama yang dibedakan yaitu; ras orang Eropa, ras orang Timur Asing dan ras Pribumi. Perlakuan diskriminatif yang dilakukan Belanda terlihat dari penyusunan tata ruang pemukiman. Pada abad ke-19 Kota Semarang berorientasi pada politik dan ekonomi. Sehingga, pusat-pusat strategis kota dihuni oleh kelompok ras atas yaitu golongan orang Eropa. Mereka menghuni di daerah Zeestraat (sekarang jalan kebon laut), Poncol, Pendrikan, dan kawasan kota Lama (timur jembatan Berok). Dan di pemukiman ini dekat dengan sarana perdagangan, industri, pelabuhan, pasar dan sentra kerajinan tangan. Kelompok ras kedua yaitu golongan Tionghoa dan Timur asing menempati kampung-kampung yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah colonial Belanda. Untuk orang-orang Tiongha ditempatkan di kampung Pecinan, sementara Orang-orang India berada di kampung Pekojan, dan orang-orang Arab ditempatkan di kampung Kauman. Selain ditempatkan secara khusus oleh pihak Belanda, masyarakat dari golongan ras ke 2 ini juga dapat berbaur dengan penduduk Pribumi. Kondisi pemukiman mereka berbeda jauh dengan kondisi pemukiman dari golongan ras Eropa. Walau rumah mereka terbuat dari tembok permanen, tapi kondisinya sangat memprihatinkan seperti lingkungannya kumuh, kotor (banyak kotoran hewan dan manusia), serta kekurangan air bersih. Sedangkan ras mayoritas (Pribumi) yang diposisikan di kelompok terakhir, mereka sebagian besar tinggal pinggiran kota, tapi dekat dengan akses jalan raya. Misalnya ada kampung Lamper Lor, Lamper Tengah, Lamper Kidul, Lampersari, Lampermijen, Peterongan, Sompok, Jomblang, Karangsari, Pandean, Sayangan, Plamitan, Dll. Para masyarakat Pribumi Jawa dan Luar Jawa sebagian besar bekerja sebagai nelayan, buruh pabrik dan pedagang. Dan para Pribumi ini tinggal tak jauh dari tempat mereka bekerja seperti Pelabuhan, Pabrik-pabrik dan Pasar. Rata-rata rumah penduduk Pribumi ini berdinding semi permanen dan non permanen berupa kayu dan gedhek (tembok dari bambu). Di dekat pusat kota rumah para Pribumi saling berhimpitan, sehingga di awal abad ke-20 timbul berbagai macam wabah penyakit dikarenakan tempat sanitasi yang buruk. Untuk lingkungan industri menyatu dengan pemukiman penduduk. Misalnya: kampung Petudungan, Plampitan, Pekunden, Sayangan, dan Pandean. Penggunaan lahan kota hanya boleh diperuntukkan oleh para penguasa dan pemodal, sehingga hal ini menyebabkan pembangunan fisik terhadap kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan tidak diperhatikan serta tata kota terlihat acak. Pemukiman penduduk Pribumi mempunyai sanitasi yang tidak layak, suplai air minum yang kurang, cahaya dan ventilasi udara berkurang dan bahaya banjir di musim hujan. Orang Eropa di Semarang memiliki rumah yang bagus dan berada di tepi jalan raya dengan halaman yang luas, serta fasilitas yang lengkap. Berbeda secara kontras dengan pemukiman dan rumah orang-orang pribumi yang berjalan sempit, kotor, dan becek. Rumah mereka terbuat dari bamboo dengan sanitasi yang sederhana, sumur umum, yang fasiltasnya jauh dari kata memadai. Situasi ini disebabkan oleh perkembangan kapitalisasi agrarian tahun 1870 dengan perangkat pendukung yakni: sistem regulasi, bank, perusahaan dagang, dan industrialisasi. Orang Eropa yang tertarik dengan pesatnya perkembangan kota dengan membeli tanah-tanah di sepanjang jalan utama, yang semula perkampungan penduduk pribumi (Wertheim 1958:vii). Tanah kampung penduduk pribumi yang pertama kali terpaksa disewakan kepada pengusaha eropa adalah kawasan Bojong (sekarang jalan pemuda). Sementara penduduk pribumi pindah ke arah selatan, di kawasan Bulu. Di kawasan Bulu ini kemudian dibangun villa, rumah mewah dan gedung yang berhalaman luas, serta dibangun perumahan bagi pegawai Eropa (Brommer 1995:18). Tabel 1. Jumlah Penduduk Semarang 1850-1941 Suku Bangsa 1850 1890 1920 1930 1941 Pribumi 20.000 53.974 126.628 175.457 221.00 Cina 4.000 12.104 19.720 27.423 40.000 Timur Asing (non Cina) 1.850 1.543 1.530 2.329 2.500 Eropa 1.550 3.565 10.151 12.587 16.500 Jumlah 29.000 71.186 158.036 217.796 280.000 Sumber: Brommer dan Setiadi (1995:23) Kondisi lingkungan kampung pribumi yang buruk, telah mendatangkan wabah penyakit pes di dalam kota Semarang. Pemerintah kolonial Hindia Belanda telah melaporkan bahwa sejak Oktober 1916 – Desember 1917 terdapat 31 orang terjangkit penyakit pes. Adapun kampung-kampung yang terkena wabah penyakit pes ini yaitu: Karangturi, Lemahgempal, Bugangan, Gambiran, Bojongpejambon, Kembangsari, Randusari, Widoharjo, Lamper Kidul, Genuk, Bandaharjo, Rejosari, Barusari, Bulustalan, Pederesan, Bulu Lor, Pendrian Kidul, dan Kentangan (Yuliarti 1997:240). Selain pes, wabah kolera, tyfus, malaria, dan disentri juga menyerang perkampungan di Semarang. Angka kematian di Semarang sangat tinggi, jauh melebihi angka kelahiran. Maraknya urbanisasi ke kota, cukup menjadikan jumlah penduduk kota masih stabil. Di beberapa wilayah perkotaan, angka kematian dapat mencapai 10% dari jumlah penduduk, bahkan sewaktu-waktu bisa juga mengalami kenaikan hingga mencapai 11% (Kakebeeke 43-4). Masalah angka kematian yang tinggi, merebaknya wabah penyakit pes, serta buruknya kondisi pemukiman di kota Semarang menjadi pembicaraan yang alot dalam pembahasan di Rapat Dewan Kotapraja pada 29 Januari 1909, Dr. de Vogel, mengusulkan perencanaan pemukiman di daerah perbukitan. Ia beralasan bahwa kota Semarang termasuk kota yang paling tidak sehat bila dibandingkan dengan kota-kota di jawa lainnya. Sebagai seorang dokter, ia tidak tega melihat pemandangan kondisi pemukiman di Semarang yang buruk dan sedang terkena wabah penyakit. Tabel Angka Kematian Penduduk Semarang Tahun 1919 (per 1000 jiwa) Daerah Triwulan I Triwulan II Semarang Kulon 48 67 Semarang Kidul 32 57 Semarang Wetan 59 72 Semarang Tengah 45 49 Genuk 24 64 Pedurungan 26 90 Srondol 13 23 Mranggen 26 151 Karangun 24 115 Kebonbatu 20 98 Rata-rata 31,2 78,6 Sumber: Gie (1990) Rencana pembangunan daerah pemukiman di perbukitan yang dibuat terencana dengan baik dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak. Sebagai seorang yang sadar hak asasi, ia tahu bahwa rencana pembangunan ini pasti akan menghadapi tantangan dari pihak yang tidak setuju dan sependapat dengan rencana ini termasuk masyarakat Tionghoa Semarang. Mereka tidak setuju rencana tersebut dengan alasan bahwa wilayah perbukitan di Semarang telah dijadikan dan dimanfaatkan sebagai makam. Pendapat yang tidak sependapat lainnya adalah dari beberapa anggota Dewan Kotapraja, yang menganggap bahwa rencana besar dokter Vogel itu akan mengakibatkan pemindahan kota, dari kota bawah ke kota atas. Sedangkan pendapat Dr. de Vogel mendapat dukungan dari Dr. Tersburgh. Hasil pengamatannya menyimpulkan bahwa daerah perbukitan Semarang, telah siap dijadikan tempat huni yang bebas dari malaria. Di daerah dataran bawah Semarang, membuat merambatnya wabah penyakit malaria dan kholera dengan sangat cepat. Penduduk seketika pashrah dengan kondisi ini dan tidak bisa berbuat untuk menanggulanginya. Tetapi, wabah penyakit kholera di daerah perbukitan dapat dilakukan penanggulangannya. Pembicaraan yang berbuntut panjang ini akhirnya disepakati untuk pembangunan pemukiman baru di bukit Semarang. Dan, makam cina kemudian dipindahkan ke daerah Kedungmundu, Gemah, Terguwo, dan Sendang. Pada tahun 1909 kawasan pemukiman baru di bukit di Semarang atas menjadi tempat tinggal yang indah, sehat dan tertata rapi, serta berfasilitas lengkap seperti listrik, air ledeng, dan transportasi umum (Liem 1933:190 dan 194). Namun ironisnya kawasan yang terkesan indah dan bersih ini malah kemudian dihuni oleh orang-orang kolongmerat Eropa. Upaya lainnya di bidang tata kota untuk menganggulangi permasalahan Kota Semarang pada abad ke 20 adalah perbaikan Kampung dan pembangunan perumahan. Rencana perbaikan kampung telah berjalan hampir 20 tahun, tetapi tidak dapat berjalan dengan lancar. Kendalanya adalah permasalahan dana. Pemerintah Administratif membutuhkan dana sekitar f300.000,- dan uang pemeliharaan dalam setahun sebesar f125.000,- sedangkan pemerintah pusat hanya memberikan f25.000,-. Dengan dana yang sangat jauh dari target, maka proses perbaikan kampung dilaksanakan dengan tidak optimal (Kakebeeken 90-1). Untuk pembangunan perumahan dilaksanakan di kawasan Kintelan, Lempongsari, Sompok, Pendrikan, Mlaten, Seteran, dan Bulu. Keberadaan gemeente (pembagian administratif) menjadikan tata ruang kota Semarang menjadi lebih teratur. Pembagian wilayah ini dapat di bedakan menjadi beberapa zona yaitu: 1. Zona Permukiman. Praktik diskriminatif masih berlangsung di dalam penataan pola/bentuk pemukiman, yang membedakan berdasarkan kelas-kelas sosial, kawasan-kawasan yang baru di bangun, seperti di daerah perbukitan telah banyak dihuni oleh orang-orang Eropa dan kolongmerat lainnya. sedangkan perumahan dinas milik Hindia Belanda khusus untuk ditempati oleh pejabat birokrasi pemerintahan (Eropa dan Pribumi). Untuk orang Pribumi biasa mereka bertempat tinggal di perkampungan pinggir kota yang terkesan kumuh dan kotor. Selanjutnya untuk orang-orang tionghoa dan arab ditempatkan di kampung pecinan dan pekojan dekat pasar dan dekat benteng dari militer Hindia Belanda. 2. Zona Perniagaan. Kegiataan perekonomian seperti pasar telah dikelola dengan baik oleh pemerintah hindia belanda dengan konsep yang modern. Pasar-pasar yang sudah tua dan lama semuanya diperbaiki dan membangun penambahan fasilitas-fasilitas untuk menunjang kegiatan pasar, dengan memperhatikan unsur kebersihan dan kerapian pasar. Bahkan, pemerintah kolonial berencana untuk membangun sebuah pasar induk. 3. Zona Industri. Di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, di Semarang telah berkembang industri-industri pabrik yang berskala besar, sementara industri pribumi yang masih berskala kecil/rumahan masih beroperasi. Pada tahun 1909 masih tercatat berbagai industri pribumi seperti: batik (kampung batik), pembuatan alat-alat gerabah (kampung pekunden), penyamakan kulit (kampung kulitan), pakaian, kereta, dan pembuatan alat-alat dari kuningan dan logam. Industri-industri pabrik yang didirikan oleh pemerintah koloial semuanya telah menggunakan/bertenagakan mesin uap, gas, dan listrik, sehingga membuat perekonomian di Semarang semakin berkembang pesat. Pada tahun 1905 terdapat 22 jenis industri pabrik, tahun 1915 terdapat 25 jenis, tahun1923 terdapat 36 jenis, dan tahun 1925 terdapat 48 jenis (Yuliarti 1997:287). 4. Zona Perkantoran. Diawal pembentukan, pemerintah administratif belum mempunyai sekretariat. Seiring dengan kebutuhan kota dalam mengatur urusan kegiatan pemerintahan. Maka diperlukan perluasan kota ke arah selatan dan barat menjadikan rumah gemeente berada ditengah-tengah kota (Bojong, sekarang jalan Pemuda). Perkembangan administrasi kota menjadikan kawasan ini sebagai zona perkantoran, termasuk wilayah/kawasan Little Netherland (Kota Lama). Kawasan ini pada awal pembangunannya di tahun 1741 merupakan kawasan yang dihuni untuk orang-orang belanda yang kemudian berkembang menjadi daerah perdagangan, hotel, perkantoran bahkan pertahanan dengan dibangunnya sebuah benteng yang bernama Vijhoek di daerah kota lama. D. Kota Semarang Pasca Kemerdekaan Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan keberhasilan bangsa Indonesia melenyapkan penjajahan dari wilayah NKRI, maka tahun 1950 kota Semarang berubah menjadi Kotapraja di Provinsi Jawa Tengah. Kehidupan di kota Semarang tak banyak berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan pada saat negeri ini masih terus mengelami berbagai masalah selama 20 tahun setelah kemerdekaan, maka kota Semarang mengalami situasi dan dalam kondisi yang tertekan. Pecahnya peristiwa G30S dan tumbangnya rezim orde lama yang bersistem demokrasi terpimpin serta hilangnya kekuasaan Ir.Soekarno di tahun 1965 telah membuat suatu upaya untuk memecah belah sistem kehidupan dan tata negara Republik Indonesia. Kota Semarang juga mengalami masa-masa penuh terror dan ketakutan, setelah mengalami berbagai pemberontakan yang berhasil di tumpas seperti PKI, dan DI/TII, maka sekarang bertahap kehidupan di masyarakat dan bangsa ini mulai normal kembali. Pada tahun 1976 semenjak Orde Baru memimpin, pemerintahan ini mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) No. 16 Tahun 1976 bahwa wilayah Semarang mengalami pemekaran sampai ke Mijen, Gunungpati, dan Tembalang di wilayah Selatan, Genuk di wilayah Timur dan Tugu di wilayah Barat. Seluruh wilayah Semarang meliputi 273,7 Km2. Dari semula 5 kecamatan kemudian menjadi 9 kecamatan. Adanya perkembangan dan perluasan wilayah ini maka pertumbuhan kawasan mulai diperhatikan. Pusat-pusat industri, perdagangan, pendidikan, pemukiman, pertahanan dan keamanan mulai diatur dalam lokasi-lokasi yang strategis. Kota Semarang bawah cepat berkembang menjadi pusat perdagangan, jasa dan pemerintahan. Sementara wilayah perluasan atau pinggiran menjadi pusat pendidikan. Ini juga dimaksudkan untuk penyebaran pusat-pusat aktivitas sehingga bisa merata di semua kawasan dan akan mengalami pertumbuhan yang sama. Perkembangan selanjutnya yang tampak menonjol adalah industri dan pemukiman penduduk. Kegiatan perindustrian dikembangkan di wilayah Kaligawe-Terboyo, Bugangan/Genuk dan Tugu, sedangkan wilayah pemukiman ditempatkan di daerah Selatan Semarang. E. Kota Semarang Era Sekarang. Sebagai ibukota dari provinsi Jawa Tengah, Semarang terletak di posisi strategis yang terletak di jalur pantai utara jawa dan sebagai tonggak ekonomi regional serta nasional. Hal ini di buktikan bahwa Semarang memiliki Bandar Udara Ahmad Yani dan Pelabuhan Tanjung Emas serta dilewati arus lalu lintas menuju Jakarta. Selain itu, Semarang juga memiliki Hinterland (daerah belakang) yang meliputi kawasan Kedungsampur yaitu: Kendal, Demak, Ungaran, dan Purwodadi. Wilayah Kabupaten Semarang dengan ibukotanya Ungaran merupakan tempat penyangga air bersih, sedangkan daerah Kabupaten Demak dan Purwodadi merupakan daerah penyangga pemukiman dan penyedia tenaga kerja bagi berlangsungnya kegiatan perekonomian dan industri di Semarang. Berbagai Industri yang tumbuh merupakan potensi besar yang dimiliki oleh Semarang yang kemudian membuat kota ini tumbuh menjadi kota besar di indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Kuntowijoyo: Pengantar Ilmu Sejarah (Review)

Perkembangan politik dan ekonomi Indonesia awal kemerdekaan (1945-1965)

Liga Muslim di India