PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888

PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888 A. Latar Belakang Sosial-Ekonomis Banten merupakan kota yang terletak di paling barat Pulau Jawa, luasnya sekitar 114 mil persegi. Menurut angka statistik resmi, penduduk Banten dalam tahun 1892 berjumlah 568.935 jiwa; daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik Cilegon. Berkaitan dengan kepadatan penduduk adalah keadaan penggarapan tanah, yang pada gilirannya sangat tergantung kepada lingkungan fisik. Daerah ini dibagi menjadi dua bagian yang sangat berbeda satu sama lain. Bagian selatan yang merupakan daerah pegunungan, untuk bagian terbesar terdiri dari hutan dan sangat jarang penduduknya. Sebaliknya, Banten Utara pada akhir abad 19 tanahnya untuk sebagian besar sudah digarap dan karenanya penduduknya jauh lebih padat. Banyak kota di daerah ini, di antaranya Banten, Tamiang dan Pontang sudah sangat tua usianya; kelahirannya dapat ditelusuri kembali sampai ke abad 16. Di Banten, dengan perekonomiannya yang terutama sekali bersifat agraris, penduduk desa secara pukul rata adalah petani dan penanam padi, entah sebagai pemilik tanah entah sebagai penggarap bagi hasil. Dalam masyarakat agraris, tanah merupakan sumber kekayaan dan produksi yang utama, dan karena itu pemiliknya memiliki prestise yang tinggi, sehingga klasifikasi penduduk desa yang tradisional didasarkan atas pemilikan tanah. Hak dan kewajiban ditentukan atas dasar yang sama. Pemukul rataan ini berlaku di sebagian besar Pulau Jawa abad 19. Seperti masyarakat agraris lainnya, pemilikan tanah dan penyewaan tanah serta teknik-teknik bertani sangatlah penting. Karena melatarbelakangi seberapa besar hasil yang akan didapatkan di kemudian hari. Pada waktu itu dimulailah teknik bertani baru secara besar-besaran, yakni cara menanam padi di sawah. Sawah-sawah yang dinamakan sawah negara atau tanah milik sultan merupakan sawah yang tertua. Petani yang menggarap sawah tersebut terbagi menjadi dua, yakni petani mardika dan kaum abdi. Sawah negara berasal dari awal periode kesultanan dan masih ada pada pertengahan abad ke 19. Sawah negara sebenarnya adalah sawah yang dibuka atas perintah sultan maupun anggota keluarganya yang kemudian dibagi-bagikan kepada petani dengan syarat mereka harus membayar upeti sebesar sepersepuluh dari hasilnya. Dimana kenyataannya untuk menggunakan tanah sultan tersebut berhubungan dengan pengambilan pajak atas hasil panen dan kewajiban melakukan kerja bakti terhadap sultan. Dalam tahun 1808 Daendels menghapuskan tanah milik sultan serta wajib kerja bakti, lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk untuk seluruh daerah dataran rendah di Banten. Hal tersebut menimbulkan keresahan di kalangan petani kala itu, seharusnya pajak tanah berlaku bagi setiap orang yang memilik sawah juga. Daendels telah salah mengira bahwa pajak tanah diberlakukan pada setiap pemilik tanah, padahal seharusnyaa hanya diambil dari para petani penggarap tanah milik sultan. Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Para pemegang hak tanah sultan menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja bakti, sedangkan pemilik sawah tetap berhak atas pakukusut mereka. Akan tetapi ketentuan baru tersebut justru menicu tindakan kesewenang-wenangan. Banyak praktek penyelewengan di kalangan pamongraja, praktek korupsi merajalela. Oleh karena ketentuan baru tersebut pula maka telah menimbulkan banyak rasa tidak puas dan hal inilah yang melatarbelakangi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Banten. Satu peraturan administrative lainnya yang menimbulkanrasa tidak puas adalah penetapan pajak perdagangan. Di tahun-tahun sebelumnya pajak perdagangan untuk perahu ditetapkan tanpa memperhitungkan ruang muatan barang. Namun dalam perkembangannya pajak perdagangan untuk perahu setiap koyang (satu unit tonase) dikenakan pajak sebesar sepuluh golden tanpa memperhitungkan ukuran perahunya. Tempat tujuan perahu juga tidak diperhitungkan. Sehingga mereka jelaslah dirugikan. Yang membuat keadaan lebih buruk adalah terjadinya penyelewengan yang terjadi sewaktu mengukur perahu, tonase yang dicatat dalam daftar melibihi tonase yang sebenarnya. Pajak perdagangan sangat menekan, pada tahun 1887 merupakan tahun yang buruk bagi pemilik-pemilik perahu. Selain kasus mengenai penetapan pajak, pemungutan satu jenis pajak perdagangan yang istimewa di Cilegon yakni pajak pasar juga menimbulkan ketidakpuasan. Residen Banten memerintahkan agar orang-orang yang berjualan di pasar dikenakan pajak pasar. Berlakunya pajak ini disini sangat ketat, keberatan orang-orang yang hanya kadang-kadang berjualan tidak dihiraukan. Setiap orang yang berjualan di pasar harus membayar sekuraang-kurangnya satu golden. Orang yang tidak membayar pajak diancam hukuman kurungan atau denda 15 golden. Penah terjadi peristiwa penangkapan atas orang-orang yang tidak memiliki surat lunas pajak sehingga rakyat menjadi panic dan berlarian meninggalkan pasar. Selama beberapa waktu tempat itu kosong pada hari-hari pasar berlangsung. Kondisi sosio-ekonomis telah banyak menimbulkan tekanan-tekanan dan tuntutan yang tak terduga daripada sebelumnya. Ditambah lagi dengan rentetan bencana fisik maupun wabah yang berkembang di Banten kala itu. Wabah penyakit ternak pada tahun 1879 telah menurunkan jumlah ternak karena pembunuhan masal terhadap ternak tersebut, sehingga kerugian serta rasa cemas tidak dapat dihindarkan. Tahun berikutnya muncul wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia. Karena terdapat kekurangan yang sangat besar akan tenaga kerja, banyak sawah ang tidak dapat digarap sehingga kelaparan merajalela. Belum sempat bangun kembali dari semua penderitaan tersebut, meletuslah Gunung Krakatau pada tahun 1883. B. Kondisi Masyarakat Sebenarnya abad ke 19 merupakan masa keresahan sosial yang menyertai perubahan sosial yang timbul sebagai dampak dari pengaruh Barat yang semakin besar. Karena seperti yang dapat dilihat peningkatan modernisasi ekonomi dan politik, seluruhnya tertransisi dari tradisional ke modern. Ternyadinya pemberontakan petani dipandang sebagai gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Barat yang tidak diinginkan dan terhadap pengendalian politik, dua hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional. Karena dengan berlakunya uang, timbulnya buruh upahan dan ditegakkannya administrasi pusat, maka secara umum struktur ekonomi dan politik tradisional telah runtuh. Di dalam struktur Negara tradisional kekuasaan sultanlah yang mempunyai prerogatif, baik dalam urusan politik maupun dalam urusan agama. Seperti halnya di negara –negara tradisional lainnya di Pulau Jawa, kekuasaan administraif dilimpahkan kepada anggota-angota lapisan atas birokrasi. Mengenai perjuangan politik di negara tradisional, maka disamping para pangeran keturunan raja, saingan-saingan potensial raja adalah kaum elite birokrasi agama. Banten yang pernah menjadi sebuah daerah yang sangat kuat dan makmur dengan kota pelabuhan yang paling besar di Indonesia mengalami kemunduran yang cepat masa pemerintahan sultan-sultan terakhir penuh dengan perselisihan-perselisihan dan intrik-intrik sehingga anarki dan bencana-bencana merajalela. Meski daerah sekitar Keraton Sultan relatif tentram, daerah yang letaknya lebih jauh diteror oleh penyamun, perampok dan orang buangan. Setelah aneksasi Kesultanan Banten oleh Daendles tahun 1808, Sultan dan alat-alat politiknya di pertahankan, tetapi dibawah pengawasan ketat pemerintah Belanda. Banten dinyatakan sebagai daerah Kekuasaan yang luas wilayahnya, sangat diperkecil. Situasi Politik dalam tahun-tahun 1870-an dan 1880-an. Bukti tidak diragukan lagi tentang ketidakstabilan politik yang terus menerus di Banten apalagi dengan banyaknya perbentengan-perbentengan yang tersebar di daerah Serang, Anyer, Caringin, Cimanuk, Rangkasbitung, Padeglang dan Tanara. Di sana ditempatkan satuan-satuan militer yang berkekuatan sekitar dua puluh lima orang. Adanya perbentengan-perbentengan itu merupakan peringatan yang tetap bahwa pemerintahan kolonial setiap saat siap untuk menggunakan kekerasan guna menindas pemberontakan rakyat. Sebenarnya, di kalangan pemerintahan terdapat kecurigaan yang besar mengenai kegiatan Pergolakan-pergolakan sosial yang disertai ambruknya nilai-nilai tradisional ditandai oleh ketidakpuasan, suasana panas dan gelisah di kalangan penduduk. Sedemikian sarat pemberontakan dengan ketegangan dan konflik sosial, yang mudah meletus menjadi pemberontakan. Keresahan yang sudah meluas di kalangan rakyat itu mengungkap dirinya sebagai ledakan-ledakan yang silih berganti, bukan hanya berupa kerusuhan-kerusuhan tetapi juga berupa komplotan-komplotan dan kejahatan-kejahatan sosial. Sepanjang abad 19 Banten merupakan gelenggang pemberontakan sehingga cukup alasan untuk memakannya sebagai tempat persemaian kerusuhan yang sudah terkenal. Faktor yang menyebabkan terjadinya pergolakan adalah kompleks dan beraneka ragam. Faktor-faktor seperti disintegrasi tatanan tradisional dan proses yang menyertainya, yakni semakin memburuknya sistem politik dan tumbuhnya kebencian religious terhadap penguasa-penguasa asing sangat menonjol dalam banyak pemberontakan di Banten abad 19. Keadaan tidak menentu timbul setelah ambruknya kesultanan, dan anarki umum yang berlangsung kemudian, sedikit banyaknya membantu munculnya unsur-unsur pembangkang yang berulang kali melakukan kerusuhan-kerusan, keadaan rusuh itu berlangsung terus. Banten mengalami anarki yang hukum yang meluas, sementara kerusuhan timbul hampir tiap tiga tahun sekali. Perlawanan yang sengit terhadap pemungutan pajak berkembang menjadi pemberontakan-pemberontakan. Kegusaran penduduk terhadap perpajakan menjadi bertambah sebagai akibat langkanya uang dan rendahnya harga hasil pertanian. Seringnya terjadi kerusuhan sosial merupakan konsekuensi langsung dari penetrasi perekonomian uang ke dalam masyarakat Banten. Akhir abad 19 juga merupakan suatu kebangkitan kehidupan agama. Dalam kebangkitan religiositas itu terdapat suatu reaksi tertentu terhadap westernisasi, akan tetapi jelas ada berbagai jenis tanggapan dan tingkat kecepatan penyesuaian yang berbeda-beda. Secara berangsur-angsur gerakan bangkitnya agama berkembang menjadi badan-badan politik keagamaan. Kebangkitan tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang naik haji, pertumbuhan pesat pesantren dan tarekat-tarekat Sufi, dan beredarnya secara luas ramalan eskatologis. Sebab timbulnya gerakan kebangunan itu untuk sebagian bersifat keagamaan yang lahir dari keprihatinan terhadap kemorosotan iman di kalangan rakyat. C. Gerakan Pemberontakan dan Meletusnya Pemberontakan Petani Banten 1888 Haji Abdul Karim menjadi yang paling menonjol diantara pemimpin-pemimpin gerakan itu. ia mendirikan sebuah pesantren dan oleh karena ia sudah terkenal, maka dalam waktu singkat ia sudah mempunyai murid-murid yang sangat setia, mengabdi dan patuh kepadanya. Setelah itu pada tahun 1883 kaum pemberontakan gesit kembali karena hadirnya sosok Kiyai Haji Tubagus Ismail, seorang anggota Tarekat Kadiriah dan murid Haji Abdul Karim. Ia telah beberapa kali naik haji, dari perjalanan-perjalananya tersebut semakin menambah rasa bencinya terhadap penguasa-penguasa kafir. Gagasan yang dikembangkannya yaitu untuk menghasut rakyat agar memberontak. Selanjutnya dengan kedaatangan Haji Marjuki pada bulan Februari 1887, gerakan pemberontakan mencapai satu tahap yang baru. Namun haji Marjuki ternyata gagal dalam menyelesaikan rencana pemberontakannya, sehingga muncul tokoh baru yakni Haji Wasid, yang mana ia berakhir terbunuh. Sejak tahun 1884, gagasan mengenai pemberontakan sudah matang, dan para pemimpinnya sudah tidak sabar lagi untuk bertindak. Pemberontak-pemberontak begitu pandai merahasiakan rencana-rencana komplotan mereka sehingga selama bertahun-tahun pemerintah kolonial tidak dapat menemukan fakta-fakta yang bisa dijadikan alas an untuk menangkap mereka. Sementara itu semangat pemberontakan sudah meliputi masyarakat Banten. Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selama tiga bulan terakhir tahun 1887 dan pertengahan pertama tahun 1888, ditandai oleh faktor-faktor sebagai berikut : (1) latihan pencak dipergiat, (2) pengumpulan dan pembuatan senjata, (3) propaganda di luar Banten dilanjutkan. Kegiatan-kegiatan lain diteruskan, seperti menghasut rakyat dengan jalan membakar semangat mereka dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan. Kegiatan-kegiatan gerakan benar-benar ditingkatkan, dan salah satu buktinya yang nyata adalah seringnya diadakan pertemuan oleh pemimpin-pemimpin pemberontak, hampir setiap minggu. Pada tanggal 9 Juli tahun 1888 Pemberontakan Petani Banten dimulai. Adegan pembuka tragedi berdarah yang berlangsung selama bulan Juli itu telah direncanakan di Desa Saneja yang berbatasan dengan Cilegon. Sebagai ibukota afdeling Anyer, Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamongpraja, Eropa dan pribumi, yakni asisten residen, kontrolin muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Serangan pertama yang dilakukan oleh para pemberontak yaitu menyerbu rumah Dumas di pagi hari, namun dalam penyerbuan tersebut Dumas berhasil lolos dan bersembunyi ke rumah tetangganya, istri dan anaknya pun ikut bersembunyi di rumah Jaksa dan Ajun Kolektor. Sementara peristiwa itu berlangsung di bagian tenggara Cilegon, sepasukan pemberontak diperintahkan untuk menuju Kepatihan. Patih termasuk diantara orang-orang yang hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. Namun ternyata Patih sudah menyadari akan kebencian kepada dirinya tersebut, sehingga pada waktu pasukan pemberontak telah sampai di Kepatihan, mereka tidak menemukan Patih sebab ia telah ke luar kota. Sedangkan serangan umum juga mulai beraksi. Pasukan pemberontak di bawah pimpinan Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun menuju gardu di Pasar Jombang Wetan. Pasukan pemberontakan lain silih berdatangan untuk bergabung dengan mereka. Sehingga akhirnya mencapai jumlah yang besar. Wajah mereka sebagian ditutupi dengan kain putih. Pemimpin utama operasi tersebut adalah Haji Wasid. Atas perintahnya, sebagian dari kaum pemberontak menyerbu penjara untuk membebaskan semua tahanan, sebagian lagi menyerang Kepatihan dan sebagian lagi bergerak ke rumah asisten Residen. Perintah untuk memulai serangan disambut oleh kaum pemberontak yang sudah berkobar-kobar semangatnya dengan teriakan Sabil Allah. Pekik perang ini bergemuruh dan bergema dan terdengar jelas di semua kampung di Cilegon dan sekitarnya. Sementara kaum pemberontak berkumpul, pejabat-pejabat pamongraja dan keluarga mereka berusaha menyelamatkan diri dalam suasana ketakutan. Jaksa dan istrinya bersembunyi di rumah Anjun Kolektor, sementara istri Gubbles, Wedana, dua orang opas bersama dengan orang-orang lain berlindung ke penjara. Dalam pertumpahan darah yang pertama, Dumas adalah korbannya. Ia jatuh ke tangan Kiayi Haji Tubagus Ismail, Kadimin dan lain-lain di rumah seorang cina dan dibunuh ditempat. Kemudian pemberontakan di bawah pimpinan Lurah jasim bergerak menuju rumah jaksa dan Anjun Kolektor. Rumah tersebut menjadi pelampiasan para pemberontak. Tempat lainnya yang menjadi ajang amukan rakyat adalah rumah Asisten Residen. Di sana terjadi pembantaian terhadap kedua putri Gubbles yang bersembunyi ditempat itu. Selain itu, para pemberontak juga memburu Sachet, seorang Eropa yang menjadi kepala Ppenjualan di gudang garam. Walaupun ia sempat berusaha menyelamatkan diri dan berhasil membunuh beberapa pemberontak dengan pistolnya, namun akhirnya ia juga dapat ditumpas. Dimulai pada senin dinihari pada tanggal 9 Juli 1888 tersebut pasukan pemberontak mengejar pejabat-pejabat pamongpraja, eropa dan pribumi, yakni asisten residen, kontrolin muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor orang-orang lainnya yang melarikan diri. Hingga tanggal 31 Juli 1888 pemberontakan tersebut baru dapat dipadamkan. Distrik-distrik di bagian barat afdeling Serang dapat dianggap bagian dari daerah utama pemberontakan bulan Juli 1888 tersebut. Namun, sebelum gelombang pemberontakan dapat mencapai ibukota Keresidenan Banten, reaksi dari pihak pemerintah sudah berjalan. Sehingga pemerontakan tersebut berakhir. Setelah api pemberontakan dapat dipadamkan, pemerintah Belanda dihadapkan dalam masalah mengadakan perubahan-perubahan dalam bidang administrasi, bukan saja yang menyangkut operasi sehari-hari aparat administrasi yang sederhana akan tetapi juga untuk mengadakan perubahan yang besar-besaran dalam jangka panjang. Peristiwa-peristiwa bulan Juli 1888 telah memaksa Belanda meninjau kembali politik kolonialnya. Abad 19 merupakan suatu periode pergolakan yang disertai perubahan sosial akibat pengaruh Barat yang semakin kuat. Seluruh proses peralihan dari tradisional ke modernitas ditandai oleh goncangan-goncangan yang silih berganti. Di Banten, seperti halnya di seluruh Indonesia, abad 19 ditandai oleh kontak yang semakin meningkat dengan dunia Barat. Pelaksanaan pajak kepala, peraturan-peraturan tentang rodi dan lain sebagainya, menyebabkan timbulnya pemberontakan di daerah-daerah pedesaan. Pemberontakan Banten tahun 1888 ditinjau sebagai satu gerakan sosial yang ditentukan oleh banyak faktor seperti halnya fenomena sosial. Peristiwa itu dapat ditempatkan didalam konteks perkembangan-perkembangan kelembagaan ekonomi, sosial, politik dan agama.

Comments

Popular posts from this blog

Kuntowijoyo: Pengantar Ilmu Sejarah (Review)

Perkembangan politik dan ekonomi Indonesia awal kemerdekaan (1945-1965)

Liga Muslim di India