PENDIDIKAN GURU PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN 1945-1950an


1.      Pendidikan Guru Pada Masa Awal Kemerdekaan
            Menurut UUD 1945, Pasal 31 ayat 1, dinyatakan dengan jelas bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Ini berarti Pemerintah Republik Indonesia (RI) mempunyai tugas untuk memberikan kesempatan seluasluasnya kepada semua warga negara untuk memperoleh pendidikan. Dalam usaha menjalankan tugas tersebut, Pemerintah RI pada awal Proklamasi 17 Agustus 1945 menghadapi berbagai macam kesulitan. Kesulitan itu antara lain kekurangan gedung-gedung sekolah dan tenaga pengajar (guru). Kesulitan itu semakin besar ketika Indonesia menghadapi Perang Kemerdekaan.
            Pemerintah baru efektif mengatasi kesulitan tersebut setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan. Sedikitnya ada dua usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kekurangan gedung-gedung sekolah, yaitu dengan mendirikan gedung-gedung baru dan menyewa rumah-rumah penduduk untuk dijadikan sekolah-sekolah. Sementara itu sewaktu Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran dikeluarkan, pelaksanaan wajib belajar masih terhambat oleh jumlah sekolah dan guru yang belum memadai. Seperti yang sudah dijelaskan, pada awal proklamasi jumlah guru yang terdidik masih sangat terbatas. Sebagian guru adalah lulusan sekolah Kweekschool dan Normalschool (pada masa kolonial Belanda), Sjooto Sihan Gakko dan Guutoo Sihan Gakko (masa pendudukan Jepang). Oleh sebab itu, suatu jenis pendidikan guru mutlak diperlukan.
            Selanjutnya untuk mengatasi kekurangan guru, pemerintah mendirikan lembaga pendidikan guru sementara secara masal yang disebut Kursus Pengajar untuk Kursus Pengantar Kepada Kewajiban Belajar (KPKPKB). Siswa yang memasuki lembaga pendidikan ini adalah para pelajar lulusan SD dengan hasil yang baik, kesehatannya baik, dan berwatak susila serta berumur antara 15-18 tahun. Semua pelajar KPKPKB diharuskan mengikat kontrak dengan pemerintah dengan jaminan mendapatkan tunjangan yang diperoleh sebesar Rp. 85,- (delapan puluh lima rupiah) perbulan. Adanya tunjangan tersebut, bagi masyarakat di tingkat desa menjadi guru waktu itu merupakan suatu kebanggaan. Adanya KPKPKB, kebutuhan akan tenaga guru untuk pelaksanaan wajib belajar dengan cepat dapat terpenuhi.

2.      Peningkatan Pendidikan Guru Pada Masa Awal Kemerdekaan
            Perkembangan berikutnya untuk meningkatkan mutu pendidikan, KPKPKB ditingkatkan menjadi Sekolah Guru B (SGB) 4 tahun dan kemudian menjadi Sekolah Guru A (SGA) 6 tahun. Sementara itu, untuk menyuplai pendidikan disekolah menengah, pemerintah membuka program Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP), Kursus B I yang lamanya 3 tahun, dan Kursus B II yang lamanya 2 tahun sesudah BI untuk diarahkan menjadi guru di Sekolah Lanjutan Atas (SLA). Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1954 sesuai dengan saran Mr. Mohammad Yamin, didirikanlah perguruan tinggi yang bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) untuk mendidik guru sekolah menengah. PTPG ini berdiri di empat empat, yaitu Bandung, Malang, Batu Sangkar, dan Tondodano.
            Pada tahun 1961 berdasarkan kesepakatan antara Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) dan Departemen Perguruan Tinggi. Dalam kesepakatan itu, PTPG dimasukan ke dalam universitas sebagai Fakutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ditujukan untuk mendidik calon sekolah lanjutan (baik lanjutan pertama maupun lanjutan atas). Berdirinya FKIP itu, maka program-program PGSLP, Kursus B I dan B II diintegrasikan dalam program FKIP. FKIP sebagai lembaga pendidik calon guru dipandang tidak memenuhi harapan pihak Departemen PD dan K sehingga Prof. Dr. Prijono (Menteri PD dan K) mendirikan Institut Pendidikan Guru (IPG) di bawah Departemen PD dan K sebagai alternatif pengganti FKIP yang berada di bawah Depertemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP).
            Akibat didirikannya IPG tersebut, timbul dualisme penyelenggara lembaga pendidikan untuk guru sekolah menengah, yaitu Departemen PD dan K dan PTIP. Keaadaan tersebut menimbulkan keresahan pada sivitas akademik FKIP seluruh Indonesia yang klimaksnya terjadi Konferensi Badan Koordinasi Senat Mahasiswa FKIP seluruh Indonesia pada tahun 1960 untuk menuntut kepada Presiden Soekarno membubarkan IPG. Akhirnya melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 3 Tahun 1963 pada tanggal 3 Januari 1963 FKIP dan IPG dileburkan menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di bawah Departemen PTIP yang setara dengan universitas dan merupakan satu-satunya lembaga pendidikan guru untuk sekolah menengah.
            Setelah mengetahui jenjang pendidikan guru mulai dari SGA, SGB, SPG, SGO, SGA, PGSLP, PGSD, PTPG, FKIP, dan IKIP, bagaimanakah tingkat kehidupan para guru Indonesia? Bila dibandingkan dengan keadaan guru pada sekitar tahun 1950-an, peranan guru di zaman sekarang sudah amat berbeda. Kalau dulu guru dianggap sebagai orang yang banyak tahu dan untuk itu masyarakat datang kepada guru. Namun perkembangan selanjutnya, guru tidak lagi duduk di “singgasana” yang terhormat dan menikmati status kultural guru yang memang tinggi saat itu. Kebetulan pula di masa lalu (1950- 1960-an) jumlah guru masih sangat langka dan umumnya berasal dari keluarga status sosial-ekonomi yang relatif baik.
            Meskipun di tahun 1950-an jabatan guru masih terpandang, ternyata generasi muda (murid-murid sekolah) terlihat kurang berminat dengan pekerjaan guru. Faktor penyebabnya, pekerjaan guru tidak menjamin hidup lebih baik. Ditinjau dari status ekonomi, masyarakat memandang guru termasuk kelompok berpenghasilan rendah (Low income earners). Pandangan ini dapat dipahami karena memang demikianlah adanya. Misalnya, gaji guru SD lulusan Program D II yang baru diangkat tidak lebih baik dari upah minimum regional (UMR) pekerja pabrik yang hanya berpendidikan SD, SMP, atau SMA. Karena kondisi itu, dalam persepsi masyarakat, sebagian besar guru berada pada lapisan berpenghasilan rendah dan hanya sebagian kecil berada pada lapisan menengah-bawah (Lower-middle income earners).
            Sejalan dengan kesadaran dan kepedulian para guru, sebagian masyarakat dan pejabat pemerintah mulai peduli terhadap perbaikan nasib guru serta upaya mengangkat citra guru dan martabatnya dirasakan semakin kuat. Kesadaran itu tumbuh sertelah melihat kenyataan bahwa imbalan yang diterima oleh para guru belum layak bila dibandingkan dengan beban tugas yang dipikulnya. Untuk itu perlu adanya standar kehidupan yang sepantasnya diperoleh sesuai dengan predikatnya sebagai pendidik bangsa. Apakah sebabnya tema kesejahteraan guru dalam artian luas meliputi gaji, tunjangan, dan rasa aman dalam menjalankan tugas perlu dikedepankan? Jawabannya, karena berbagai studi yang dilakukan, tingkat kesejahteraan merupakan penentu yang amat penting bagi kinerja guru dalam menjalankan tugas-tugasnya.

            Bagi guru yang penting adalah kesejahteraan mereka meningkat sehingga status profesi mereka pun akan ikut terangkat dan kebanggaan terhadap profesinya akan meningkat. Pernyataan itu meskipun tidak seluruhnya benar baik-buruknya tingkat kesejahteraan merupakan ukuran penting martabat suatu profesi. Apalagi sebagian guru tergolong berpendidikan baik dan terlatih sehingga perlu digaji dengan baik pula. Tetapi kenyataannya, profesi guru kurang mendapatkan imbalan yang layak. Berkenaan dengan kesejahteraan materil, khususnya yang bersumber dari gaji dan tunjangan lainnya, diakui bahwa apa yang diperoleh guru masih minim. Kenaikan gaji selama ini cenderung baru upaya mengimbangi laju inflasi. Akibatnya, secara riil, daya beli guru tidak banyak meningkat.

Comments

Popular posts from this blog

Kuntowijoyo: Pengantar Ilmu Sejarah (Review)

Perkembangan politik dan ekonomi Indonesia awal kemerdekaan (1945-1965)

Liga Muslim di India