Rasionalisme dan Empirisme
1. RASIONALISME
Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalis seperti Rene Descartes, W. G. Leibniz dan Barukh Spinoza, satu-satunya sumber pengetahuan adalah akal budi manusia. Oleh karena itu, kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui pancaindra kita. Bagi mereka, akal budi saja sudah cukup memberi pemahaman bagi kita, terlepas dari pancaindra. Jadi, akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan pengetahuan yang kita peroleh.
Untuk melihat lebih jauh pandangan rasionalisme, dibawah ini akan diuraikan pemikiran dua tokoh penting, yaitu Plato dan Descartes.
a. Plato
Plato adalah pemikir rasionalis yang pertama. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati adalah apa yang disebutnya sebagai episteme, yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah, sesuai dengan ide-ide abadi. Apa yang kita tangkap melalui pancaindra hanya merupakan tiruan cacat dari ide-ide tertentu yang abadi. Di dunia ini hanya ada bayangan dari ide yang abadi. Manusia mengenal dan mengetahui bayangan tadi melalui ide abadi. Pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal yang sudah diketahui dalam ide abadi. Pengetahuan adalah kumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia, untuk mengetahui sesuatu, untuk menyelidiki sesuatu dan akhirnya untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita hanya mengandalkan akal budi yang sudah mengenal ide abadi.
b. Rene Descartes
Meneruskan sikap kaum skeptis, Descartes berpendapat bahwa kita perlu meragukan segala sesuatu sampai kita mempunyai ide yang jelas dan tepat (clara et distincta). Kita diharapkan tetap meragukan untuk sementara waktu apa saja yang tidak bisa dilihat dengan terang akal budi sebagai yang pasti benar dan tidak diragukan lagi. Ini disebut sebagai keraguan metodis, yang berfungsi sebagai alat untuk menyingkirkan semua prasangka, tebakan, dan dugaan yang menipu, dan karenanya menghalangi kita untuk sampai pada pengetahuan yang benar-benar punya dasar yang kuat.
Menurut Descartes, hanya akal budi yang dapat membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui. Salah satu unsur utama yang menipu dan menghalangi kita untuk sampai pada pengetahuan sejati adalah pengalaman indrawi kita. Misalnya pancaindra menipu kita bahwa benda-benda ruang angkasa kecil atau botol berisi air sebagai botol kosong. Descartes meragukan semua yang ditangkapnya melalui pancaindra. Hanya kalau apa yang ditangkap oleh pancaindra telah dilihat melalui terang akal budi sebagai pasti dan tak bisa diragukan, apa yang ditangkap pancaindra itu bisa diterima sebagai pengetahuan. Descartes berpendapat bahwa untuk sampai pada pengetahuan yang pasti dan tak teragukan mengenai apa saja, kita perlu mengandalkan akal budi kita sebagaimana halnya dalam ilmu ukur. Oleh karena kita perlu meragukan apa saja, termasuk yang ditangkap oleh pancaindra kita. Yang perlu kita lakukan adalah menggunakan alat yang sama yang memungkinkan ahli ilmu ukur dan matematika sampai pada kebenaran yang pasti, yaitu akal budi, karena hanya akal budi yang bisa memberi kita kepastian.
Menurut Descartes, keraguan metodis bukanlah tujuan yang harus dicapai. Keraguan ini hanya sarana untuk bisa menemukan segala sesuatu yang bisa kita ketahui secara pasti. Dengan cara ini kita bisa sampai pada kebenaran tertentu yang tidak bisa lagi di ragukan, dan ini memberi landasan yang kokoh bagi pengetahuan kita. Tujuan dari cara kerja yang mengandalkan akal budi seperti ini adalah supaya kita tidak hanya sampai pada pengetahuan sejati yang punya dasar yang kokoh, melainkan juga pada pengetahuan yang bersifat umum atau universal, yaitu pengetahuan yang tidak terbatas pada obyek khusus tertentu yang diberikan pancaindra dan dengan demikian bisa menipu.
Ketika mempraktekkan metode tadi, akhirnya Descartes sampai pada satu kenyataan yang tidak bisa diragukannya, yaitu bahwa ia ada. Descartes sadar bahwa kalau ia meragukan banyak hal, dia harus ada supaya bisa meragukan hal-hal itu. Kalau saya tidak ada, saya tidak bisa meragukan hal-hal itu. Oleh karena itu, ada satu hal yang pasti, yaitu bahwa saya sedang meragukan segala sesuatu, saya sedang berpikir. Ini tidak bisa diragukan, maka kata Descartes “saya berpikir maka saya ada”. Adanya manusia sebagai entitas yang berpikir merupakan kebenaran yang pasti dan tak terbantahkan yang menjadi landasan bagi pemikiran dan pengetahuan manusia. Ini penting, karena kalau keraguan mau dianggap serius sebagai sebuah metode ilmiah, harus diterima sebagai pasti benar tak teragukan bahwa saya sedang meragukan. Artinya, kalau keraguan mau dianggap sebagai metode yang ilmiah, saya tidak bisa sekaligus meragukan bahwa saya sedang meragukan. Ini harus menjadi dasar dari pemikiran dan pengetahuan manusia.
Hal ini sekaligus menegaskan bahwa berpikir, akal budi, adalah unsur paling pokok dari manusia, sekaligus juga bagi pengetahuan manusia. Akal budi adalah landasan paling kokoh dan paling pokok dari pengetahuan manusia. Hal itu berarti, hanya apa yang lolos dari seleksi akal budi dapat diterima sebagai pengetahuan yang benar.[1]
2. EMPIRISISME
Empirisme berasal dari bahasa Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan atau sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia yaitu pengalamannya dan pengamatan pancaindera. Maka sumber pengetahuan adalah pengalaman dan pengamatan pancaindera yang memberi data dan fakta bagi pengetahuan kita. Atas dasar ini, bagi kaum empirisis semua pengetahuan manusia bersifat empiris. Pengetahuan yang benar dan sejati yaitu pengetahuan yang pasti benar adalah pengetahuan inderawi atau pengetahuan empiris. [2]
Pancaindera memainkan peranan terpenting dibandingkan dengan akal budi karena :
1. Semua proposisi yang kita ucapkan merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari pengalaman.
2. Kita tidak bisa punya konsep atau ide apa pun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman.
3. Akal budi hanya bisa berfungsi kalau punya acuan ke realitas atau pengalaman.[3]
Hal ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti : “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?”. Seorang empiris akan mengatakan, “karena saya merasakan hal itu atau karena seorang ilmuwan telah merasakan seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subyek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana ia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diproleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.
John Locke (1632-1704), yang merupakan bapak empiris Britania, mengungkapkan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk sederhana, tetapi lama-kelamaan menjadi kompleks, kemudian tersusunlah pengetahuan yang berarti. Jadi pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.
David Hume, yang juga merupakan salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengematan memiliki dua hal, yaitu kesan-kesan (Impression dan pengertian-pengertian atau ide-ide (Ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Ia juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi, seperti membuat air mendidih, padahal dalam api tidak dapat diamati adanya “daya aktif” yang mendidihkan air. Bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam “air” yang direbus. Jadi gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapa dinyatakan lewat pancaindera.
Kaum empiris juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut, padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman.
Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari pancaindera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun terbatas oleh ide yang kabur.
Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain :
a. Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu. Maka dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
b. Indera menipu, pada orang yang sakit malaria saat merasakan gula pasti rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
c. Objek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap olah indera, ia membohongi indera.
d. Berasal dari indera dan objek tersebut. Dalam hal ini, indera (mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia itu sendiri.[4]
Ada beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi menyangkut pandangan empirisme, yaitu :
1. Kaum empirisis mengakui bahwa persepsi atau proses penginderaan sampai tingkat tertentu tidak dapat diragukan (indubitable), karena ada kebenaran tertentu yang diberikan oleh pengalaman inderawi. Bahkan, satyu-satunya pengetahuan sejati adalah pengetahuan lewat pengalaman.
2. Dari empirisme Hume, terlihat jelas bahwa empirisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan empiris, yaitu pengetahaun tentang dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia. Kaum empirisis mengakui bahwa ada pengetahuan tertentu yang tidak diperoleh melalui pengalaman inderawi.
3. Karena lebih menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia, kaum empirisis jadinya lebih menekankan metode pengetahuan induktif, yaitu cara kerja ilmu-ilmu empirirs yang mendasarkan diri pada pengamatan, pada eksperimen untuk bisa sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan. Oleh karena itu, pengetahuan yang ditekankan kaum empirisis adalah pengetahuan aposteriori.
Sikap dasar kaum empirisis ini mmpunyai sumbangan besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, karena memacu percobaan yang didasarkan pada observasi dan penelitian empiris. Ilmuwan tidak lagi bergulat dan terpaku pada rumusan dan prinsip-prinsip pertama yang bersifat apriori dan berlaku mutlak, melainkan lebih giat melakukan penilaian lapangan untuk membuktikan kebenaran berbagai proposisi dan untuk sampai pada pengetahuan yang lebih universal sifatnya.
4. Kepastian mengenai pengetahuan empiris harus di cek berdasarkan pengamatan, data, pengalaman, dan bukan berdasarkan akal budi. Bagi kaum empirisis, pengalaman dapat memberikan pembuktian tertentu secara langsung dan pasti tentang proposisi tertentu, dan bahwa dari proposisi ini bisa ditarik proposisi lainnya.[5]
[1] Keraf Sonny, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal 43.
[3] Keraf Sonny, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal 49.
[5] Keraf Sonny, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal 55.
Comments
Post a Comment