Rafl Dahrendorf: Teori Konflik

 Teori Konflik Rafl Dahrendorf

Teori konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu usaha untuk menaklukan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya atau memperoleh kepentingan-kepentingan sebesar-besarnya. Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural akibat berbagai kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsional.
Teori konflik Ralf Dahrendrof muncul sebagai reaksi atas teori fungsional struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Dahrendorf memandang teori konflik sebagai teori parsial dan dapat digunakan sebagai analisa fenomena sosial. Salah satu kontribusi utama teori konflik ini adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Teori konflik dari Rafl Dahrendrof menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat sejak penerbitan buku yang berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society.[1]
Menurut Rafl Dahrendorf, setiap masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsensus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Masyarakat tidak akan ada tanpa kedua wajah tersebut. Masyarakat disatukan dalam suatu wilayah dengan ketidakbebasan yang dipaksakan. Sehingga tidak heran jika posisi tertentu dalam suatu masyarakat memperlihatkan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Dengan adanya kehidupan masyarakat seperti itu dapat disimpulkan oleh Dahrendorf bahwa otoritas selalu menjadi faktor yang membentuk konflik sosial sistematis.[2]
Kekuasaan atau otoritas terdiri dari dua unsur yaitu penguasa (orang yang berkuasa) dan orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan. Masing-masing dari unsur mempunyai suatu kelompok. Kelompok tersebut dibedakan atas tiga tipe antara lain kelompok semu, kelompok kepentingan dan kelompok konflik. Kelompok semu adalah beberapa orang yang memiliki kepentingan yang sama tetapi belum menyadari akan keberadaannya. Kelompok semu melahirkan kelompok kepentingan, dan kelompok kepentingan memunculkan kelompok konflik. Dalam setiap kelompok terdapat dua perkumpulan yakni kelompok atasan dan bawahan. Mereka dipersatukan dengan adanya kepentingan yang sama.[3]
Kelompok atas (penguasa) mempunyai tekad untuk mempertahankan status quo sedangkan kelompok yang berada dikuasai (bawahan) menginginkan adanya sebuah perubahan.[4] Dahrendorf beranggapan bahwa konflik memiliki arti penting untuk menciptakan perubahan dan perkembangan. Jika sebuah konflik itu terjadi secara intensif maka akan terjadi perubahan yang bersifat radikal. Sedangkan jika konflik terjadi secara kekerasan maka akan mengakibatkan sebuah perubahan struktural secara tiba-tiba. Sumber konflik dalam masyarakat antara lain adanay benturan golongan miskin dan kaya, adanya dominasi, adanya ketidak adilan, diskriminasi agama, dan kekuasaan.
Analisis Dahrendorf berbeda dengan teori Karl Marx. Karl Marx membagi masyarakat dalam kelas borjuis dan prolentar. Sedangkan Dahrendorf membagi masyarakat dalam kelas kaum pemilik modal, kaum eksklusif, dan tenaga kerja. Hal tersebut membuat perbedaan terhadap bentuk-bentuk konflik yang terjadi dalam masyarakat.[5] Dahrendorf menganggap bahwa bentuk konflik terjadi karena adanya kelompok yang berkuasa atau dominasi (domination) dan yang dikuasai (submission). Jelas terdapat dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.[6]
Salah satu karya besar dari Dahrendorf Class and class Conflict in Industrial Society dapat dipahami bahwa teori fungsionalisme struktural tradisional mengalami kegagalan karena teori ini tidak mampu untuk memahami masalah perubahan sosial, terutama menganalisis masalah konflik. Teori konflik dapat dipahami bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena setiap masyarakat dapat tunduk pada perubahan. Masyarakat bisa menimbulkan konflik dan memberikan kontribusi bagi disintegrasi pada saat tertentu.


[1]              Diakses di http://repository.uin-malang.ac.id pada 18 April 2017 pukul 16.34 WIB.
[2]              Diakses di http://rumputmelawan.wordpress.com pada 18 April 2017 pukul 19.03 WIB.
[3]              Ibid.
[4]              Status quo berasal dari bahasa Latin, yang berarti keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan sebelumnya. Jadi mempertahankan status quo adalah mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya.
[5]              George Ritzer, Teori Sosial Modern, (Jakarta : Kencana Prenada Modern, 2011), hal 147.
[6]              Diakses di http://rumputmelawan.wordpress.com pada 18 April 2017 pukul 19.03 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

Kuntowijoyo: Pengantar Ilmu Sejarah (Review)

Perkembangan politik dan ekonomi Indonesia awal kemerdekaan (1945-1965)

Liga Muslim di India