Perbedaan Teori Konflik Karl Marx dan Teori Konflik Rafl Dahrendorf

Perbedaan Teori Konflik Karl Marx dan Teori Konflik Rafl Dahrendorf

a)   Teori Konflik sosial Karl Max
Adapun pemikiran yang berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini merupakan pemikiran Karl Max dan pada tahun 1950-an, teori konflik yang semakin mulai merebak. Teori ini bertujuan untuk menganalisi asal usulnya suatu kejadian sebuah pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang yang berperilaku menyimpang. Konflik dalam hal ini menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidak kesinambubgan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok, karena kekuasaan yang dmiliki kelompok-kelompok elit maka kelompok-kelompok itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang bisa melayani kepentingan-kepentingan mereka. Kemudian Karl Max mengemukakan beebrapa pandangannya tentang kehidupan sosial itu sendiri, misalnya saja yaitu :
a)         Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan.
b)         Negara dipandang sebgai pihak yang terlibat aktif dalam pertentangan dengan berpihak kepada kekuatan yang dominan.
c)         Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama unyuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property),  (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesempatan.
d)        Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindasan yang digunakan oleh kelas yang berkuasa (kapitalis) demi keuntungan mereka.
e)         Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama laim, sehingga konflik tak terelakkan lagi.
Segi-segi pemikiran Karl Max berpusat pada usaha untuk membuka sebuah kedok sistem masyarakat, pola kepercayaan, dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan  dan memeprkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meski dalam pandangannya tidak seluruhnya kepentingan ditentukan oleh struktur sosial ekonomi, tetapi hal tersebut sangat mempengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut.  Dari segi kenyataan sosial yang Karl Max tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun yaitu pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas yang berbeda, pengaruh besar yang berdampak pada kela ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai konflik kelas yang muncul menimbulkan perubahan struktur sosial yang mana hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting.
Kemudian penyebab terjadinya konflik tersebut menurut Karl Max yaitu sejarah kehidupan masyarakat ditetntukan oleh sebuah materi atau benda yang berbentuk alat produksi, dan alat produksi ini untuk menguasai kehidupan masyarakat. Yang dimkasud alat produksi tersebut adalah setiap alat yang dihasilkan akan menghasilkan komoditas dan komoditas tersebut diperlukan masyarakat  secara sukarela.  Bagi Karl Max fakta terpenting adalah materi ekonomi karena konflik tersebut dapat terjadi ketika faktor ekonomi dijadikan sebagai penguasaan alat produksi. Karl Max mengajukan konsepsi penting tentang konflik, yaitu tetntang masyarakat kelas dan perjuangannya. Max tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi menujukkan bahwa dalam msayarakat pada saat itu, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin (proletar). Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial yang hrarkis dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis. Karl Max berepndapat bahwa bentuk –bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui hubungan-hubungan pribadi dalam produksi[1].
b)   Teori Konflik Sosial Ralp Dahrendorf
Dalam hal ini Dahrendorf merupakan seorang pengkritik fungsioalisme strukutural, karena menurutnya telah gagal memahami masalah perubahan.  Pada mulanya Dahrendorf melihat teori konflik sebagai teori parsial, dan menganggap teori ini merupakan prespektif yang dapat digunakan untuk menganalisa fenomena sosial. Ia menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama , kemudian ia menyempurnakan sisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktural dapat pula dianalisa dengan teori konflik secara lebih baik. Danrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang pernah dominan dalam sosiologi, yaitu kegagalannya di dalam menganalisa masalah konflik sosial. Ia menegaskan bahwa proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi struktur sosial. Ia juga telah berperan sebagai suara teoritisi utama yang menganjurkan agar prespektif konflik digunakan dalam memahami fenomena sosial dengan lebih baik.
Dahrendorf mengemukakan bahwa pada akhir abad ke-19 telah terjadi deomposisi modal dan dekomposisi tenaga kerja. Kaum proletar tidak sebagai suatu kelompok homogen yang tunggal. Karena pada akhir abad ke-19 tersebut, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedangkan buruh biasa berada di bawah. Kaum proletar bukan lagi sebagai massa yang tanpa perbedan sebagaimana halnya yang terjadi pada kaum borjuis.
c)    Perbedaan Masing-Masing Teori Konflik Sosial
Marx menulis tentang kapitalisme, pemikiran dan kontrol sosial atas sarana-sarana produksi sebagai berada di tangan individu-individu yang sama. Kaum industrialis dan borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis , sedanngkan para pekerja atau proletar, demi kelangsungan hidup mereka tergantung pada sistem itu. Menurut Dahrendorf sendiri, yang dilihat oleh Karl Marx merupakan pemisahan antara pemikiran serta pengendalian sarana-sarana produksi yang terjadi di abad ke-20. Timbulnya kosporasi-korporasi dengan saham-saham yang dimiliki oelh orang banyak , di mana tak seorangpun memiliki kontrol yang eksklusif, berperan sebagai contoh dari apa yang disebut Dahrendorf sebagai dekomposisi modal yang melahirkan kesulitan untuk mengidentifikasi kaum borjuis yang memiliki monopoli eksklusif atas modal maupun pengendali perusahaan. Sejalan dengan lahirnya abad ke-20, kepemilikan dan pengendalian tersebut mengalami diversifikasi dan tidak lagi berada dalam satu tangan individu atau keluarga saja[2].
Dekomposisi modal dan tenaga kerja  menjurus kepada pembengkakan jumlah kelas menengah yang sebelumnya tidak pernah diduga oelh Marx. Hal ini memperkuat kegagalan ramalan Marx tentang terjadinya suatu revolusi kelas. Marx mengakui eksistensi kelas menengah di abad ke-19, akan tetapi ia merasa bahwa di saat revolusi tiba sebagian besar kelompok kecil ini akan bergabung bersama kaum proletar untuk melawan kaum borjuis. Marx tidak meramalkan timbulnya serikat-serikat buruh yang diikuti oelh moblitas sosial dari para pekerja itu. Dengan demikian mobiltas sosial inilah yang merintangi gejolak revolusi di dalam masyarakat kapitaslis modern. Jika mobilitas sosial tersebut tibaa-tiba berhenti, Dahrendorf berpendapat akan terjadi keruntuhan struktur sosial melalui tindakan revolusioner.


[1] David Berry, 2004. Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, Jakarta : PT Raja Fravindo Persada.
[2] Beiharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis  terhadap  para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar.

Comments

Popular posts from this blog

Kuntowijoyo: Pengantar Ilmu Sejarah (Review)

Perkembangan politik dan ekonomi Indonesia awal kemerdekaan (1945-1965)

Liga Muslim di India