pengusutan KKN pada masa pemerintahan Soeharto


                                       
Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya

Salah satu tuntutan reformasi yang dikehendaki rakyat lewat mahasiswa dan aktifis reformasi adalah pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya. Mengenai masalah KKN, terutama yang melibatkan Mantan Presiden Soeharto, pemerintah B.J Habibie dinilai tidak serius menanganinya karena proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat. Lambatnya pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya menimbulkan ketidakpuasan yang besar diantara pendukung gerakan reformasi. Presiden B.J. Habibie - dengan Instruksi Presiden No. 30/1998 tanggal 2 Desember 1998 – telah mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa Mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik KKN.
Kasus dugaan KKN Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri. Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito. Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.[1]
 Pemeriksaan terhadap Soeharto pernah dilakukan terkait tuduhan KKN kepada dirinya, akan tetapi hasilnya tidak memuaskan. Pada tanggal 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana yayasan dihentikan. Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan, kecuali menemukan bukti-bukti baru. Demikian pula dengan kasus lainnya juga tidak ada kejelasan.[2]


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_dugaan_korupsi_Soeharto, diakses pada tanggal 01 April 2015
[2] M.C. Ricklefs, ibid, hlm. 695

Comments

Popular posts from this blog

Perkembangan politik dan ekonomi Indonesia awal kemerdekaan (1945-1965)

Kuntowijoyo: Pengantar Ilmu Sejarah (Review)

akhir pemerintahan B.J Habibie