KETATANEGARAAN PEMERINTAHAN MILITER JEPANG
LatarBelakang
Dalam usaha membangun suatu imperium di Asia, Jepang
telah meletuskan suatu perang di Pasifik. Armada Amerika terkuat di Pasifik yang
berpangkalan di Pearl Harbor, Hawaii, merupakan penghalang besar bagi Jepang
yang berambisi memiliki bahan industri di negara-negara Selatan. Oleh karena
itu, untuk menghancurkan Armada Amerika, disusun rencana serangan rahasia oleh
Laksamana Isoroku Yamamoto pada bulan September 1941.
Pada tanggal 7 Desember 1941 Jepang
berhasil menyerang Pearl Harbor di Hawai. Lima jam setelah serangan mendadak di
Peral Harbor, Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt menandatangani
pernyataan perang terhadap Jepang, yang diikuti oleh Gubernur Jendral Hindia
Belanda Tjarda van Starkenborgh. Pada tanggal 8 Desember 1941 pukul 06.30,
Gubernur Jendral ini melalui radio NIROM mengeluarkan pengumuman yand
disimpulkan sebagai pernyataan perang melawan Jepang. Kemudian Jepang bergerak
ke selatan dengan taktik gerak cepat yang unggul dan juga menyerang Indonesia.
Jepang berhasil mendarat pasukannya
di Tarakan, Kalimantan Timur pada tanggal 11 Januari 1942, keesokan harinya
komandan Belanda di pulau itu menyerah. Semenjak itu kota-kota lainnya di
Indonesia dapat dikuasai Jepang dan akhirnya Pemerintahan Hindia Belanda
menyerah tanpa syarat di Kalijati, Jawa Barat pada tanggal 8 Maret 1942. Hal
ini menandakan berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia.
Berbeda dengan masa Hindia Belanda
dimana terdapat pemerintahan sipil, pada masa pendudukan Jepang yang ada adalah
pemerintahan militer. Pulau Jawa dan Sumatera diperintah oleh Angkatan Darat
sedangkan daerah Indonesia lainnya diperintah oleh Angkatan Laut. Jabatan
Gubernur Jendral pada masa Hindia Belanda dihapuskan dan kekuasaan dipegang
oleh panglima tentara Jepang di Jawa.
A.
Pemerintah Sementara
Dengan
penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jendral Ter Poorten, Panglima Angkatan
Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia, kepada tentara
ekspedisi Jepang di bawah pimpinan Letnan Jendral Hitoshi Imamura pada tanggal
8 Maret 1942, berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, dan dengan
resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang. Sejarah Indonesia memasuki suatu
periode baru, yaitu periode Pendudukan Militer Jepang. Berbeda dengan zaman
Hindia Belanda yang hanya terdapat satu pemerintah sipil, pada zaman Jepang
terdapat tiga pemerintah militer pendudukan, yaitu:
a. Pemerintah
Militer Angkatan Darat (Tentara ke-25) untuk Sumatera dan Pusatnya di
Bukittinggi.
b. Pemerintah
Militer Angkatan Darat (Tentara ke-16) untuk Jawa-Madura dengan pusatnya di
Jakarta;
c. Pemerintah
Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi,
Sulawesi, Borneo, dan Maluku dengan pusatnya di Makasar.
Dengan
berhasil didudukinya Indonesia oleh tentara Jepang, mula-mula diadakan
pemerintah pendudukan militer di Pulau Jawa yang sifatnya sementara. Hal ini
sesuai dengan Osamu Seirei yakni
undang-undang yang dikeluarkan oleh Panglima tentara ke-16 pada tanggal 7 Maret
1942. Dalam Undang-Undang No. 1 dicantumkan pokok peraturan-peraturan tata
negara pada waktu pendudukan Jepang.
Dari
undang-undang itu dapat diketahui bahwa jabatan Gubernur jendral pada masa
pemerintahan Hindia Belanda di hapuskan, dan segala kekuasaan yang dahulu di
tangan gubernur jendral sekarang di pegang oleh Panglima tentara Jepang di
Jawa. Dengan dikeluarnya undang-undang itu dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Militer Jepang ingin terus
menggunakan organisasi aparat pemerintah sipil yang lama beserta para
pegawainnya. Tindakan Jepang itu dimaksudkan agar pemerintah dapat berjalan
terus dan kekacauan dapat dicegah. Beda halnya bahwa pimpinan dipegang oleh
tentara Jepang, baik di pusat maupun di daerah. Susunan Pemerintah Militer
Jepang terdiri atas: Gunshireikan
(panglima tentara), kemudian disebut Saiko
Shikikan (panglima tertinggi), yang merupakan pucuk pipmpinannya, di bawah Saiko Shikikan terdapat Gunseikan (kepala pemerintahan militer)
yang dirangkap oleh kepala staf tentara Gunshireikan
menetapkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan, namanya Osamu
Kanrei. Peraturan-peraturan itu diumumkan dalam Kan Po (berita pemerintah), sebuah penerbitan resmi yang
dikeluarkan oleh Gunseikanbu.
Panglima
tentara ke-16 di Pulau Jawa yang pertama adalah Letnan Jendral Hitoshi Imamura.
Kepala stafnya adalah Mayor Jendral Seizaburo Okasaki. Dia ditugaskan untuk
membentuk pemerintahan militer di Jawa dan kemudian diangkat menjadi Gunseikan. Staf pemerintah militer pusat
dinamakan Gunseikanbu, yang terdiri
dari empat bu (semacam departemen) yaitu Somubu
(Departemen Urusan Umum), Zimubu
(Departemen Keuangan), Sangyobu
(Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan Tangan), dan Kotsubu (Departemen Lalu Lintas), yang
kemudian di tambah dengan bu yang kelima, yaitu Shihobu (Departemen Kehakiman). Kordinator pemerintah militer
setempat disebut gunseibu, yang
dibentuk di Jawa Barat dengan pusatnya di Bandung, di Jawa Tengah dengan
pusatnya di Semarang, dan di Jawa Timur dengan pusatnya di Surabaya. Di samping
itu dibentuk dua daerah istimewa (koci),
Surakarta dan Yogyakarta.
Pada
setiap gunseibu ditempatkan beberapa
komandan militer setempat. Mereka ditugasi untuk memulihkan ketertiban dan
keamanan serta menanamkan kekuasaan yang sementara ini lowong. Selain itu,
mereka diberi wewenang untuk memecat para pegawai bangsa Belanda serta
membentuk para pemerintah setempat. Akan tetapi, usaha untuk membentuk
pemerintah setempat ternyata tidak berjalan lancar. Jepang mengalami kekurangan
tenaga pemerintahan yang sebenernya telah dikirimkan tetapi kapalnya tenggelam
terkena torpedo Sekutu, sehingga dengan terpaksa diangkat pegawai-pegawai
bangsa Indonesia. Hal itu (tanpa dikehendaki oleh pihak Jepang pada waktu itu)
menguntungkan pihak Indonesia, dengan demikian mereka memperoleh pengalaman di
lingkungan pemerintahan.
B.
Struktur Pemerintah Pendudukan Jepang.
Pada
bulan Agustus 1942 usaha Pemerintah Militer Jepang meningkat dengan dikeluarnya
Undang-Undang No. 27 (tentnag aturan pemerintah daerah) dan Undang-Undang No.
28 (tentang aturan pemerintah syu dan Tokubetsu Syi), yang menunjukan
berakhirnya masa Pemerintahan Sementara. Kedua undang-undang tersebut merupakan
pelaksanaan struktur pemerintah setelah datangnya tenaga pemerintah sipil
Jepang di Pulau Jawa. Mereka mulai dipekerjakan pada badan-badan pemerintah
guna melaksanakan tujuan reorganisasi Jepang yang hendak menjadikan Pulau Jawa
sebagai sumber perbekalan perangnya di wilayah selatan. Oleh karena itu, aparat
pemerintah harus berada di bawah kekuasaan bangsa Jepang, terbukti dengan
jumlah pegawainya yang ada di Pulau Jawa.
Menurut
Undang-Undang No. 27 (undang-undang tentang perubahan tata pemerintah) seluruh
Pulau Jawa dan Madura, kecuali kedua koci
Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas syu,
syi, ken, gun, son, dan ku. Pada
tanggal 8 Agustus 1942 ditetapkan syu sebagai pemerintah daerah yang tertinggi.
Jumlahnya di Pulau Jawa ada 17, terdiri atas Banten, Batavia, Bogor, Priangan,
Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati, Kedu, Surabaya, Bojonegoro,
Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Meskipun tidak ada perubahan
struktural, terdapat perbedaan di dalam pelaksanaan pemerintahannya. Meskipun
luas daerah syu sama dengan
keresidenan dahulu, fungsi dan kekuasaanya berbeda. Residentie dahulu merupakan daerah dari pembantu gubernur (resident). Sementara itu, syu merupakan pemerintah daerah yang
tertinggi dan berotonomi, di bawah seorang syucokan
yang kedudukannya sama dengan seorang gubernur.
Di
dalam melkasanakan tugasnya, syucokan dibantu oleh cokan kanbo (majelis permusyawaratan cokan)yang mempunyai tiga bu (bagian)
yaitu:
1.
Naiseibu
(bagian pemerintahan umum)
2.
Keizaibu
(bagian ekonomi)
3.
Keisatsubu
(bagian kepolisisan)
Para syucokan
secara remi dilantik oleh Gunseikan
pada bulan September 1942. Pelantikan tersebut merupakan awal pelaksanaan
organisasi pemerintah daerah dan penyingkiran pegawai-pegawai Indonesia yang
pernah digunakan untuk sementara waktu dari kedudukan yang tinggi. Kedudukan H.
Dahlan Abdullah sebagai kepala pemerintah kota praja Batavia misalnya, diganti
oleh seorang pejabat Jepang yang menjabat sebagai Batavia Tokubetsu Syico (wali kota istimewa Batavia).
Pada umumnya struktur pemerintahan di bawah syu sama dengan struktur pemerintahan
di Jawa. Perbedaannya hanya pada perubahan struktur di bawah. Salah satu
diantaranya ialah perubahan afdeeling
(kabupaten) Siak dan Kepulauan Ria-Lingga yang pada masa Hindia Belanda merupakan
bagian dari Keresidenan Sumatra Timur digabungkan ke dalam Riau Syu, sedangkan kepulauan Riau-Lingga berada di bawah otoritas
Singapura.
Pemerintahan Militer Jepang telah mengadakan
pemisahan Jawa dengan Sumatra sebagai daerah otonomi yang berdiri sendiri.
Dengan demikian, Sumatra tidak lagi berpusat di Jakarta seperti pada zaman
Hindia Belanda. Pulau Sumatra digabungkan dengan Semenanjung Malaya dengan
pusatnya di Shonanto (Singapura).
Di samping pemerintah militer (gunsei) yang dibentuk oleh Angkatan Darat dibentuk pula suatu
pemerintahan militer oleh Armada Selatan kedua yang disebut Minseifu, dengan pusat di Makassar. Di
lingkungan Minseifu hanya terdapat
satu departemen, yakni Departemen Pekerjaan Umum yang dikepalai oleh perwira
Angkatan Laut. Departemen lainnya, yakni Departemen Keuangan, Departemen
Kehakiman, Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan
Masyarakat, dan Departemen Industri, dikepalai oleh pejabat sipil.
Antara pemerintah Angkatan Darat dan Angkatan Laut
hampir tidak pernah ada koordinasi. Pihak Angkatan Laut berusaha membuka kantor
penghubung (Bukanfu) di Jakarta pada
bulan April 1942, tetapi ditolak oleh penguasa Tentara ke-16 dengan alasan
sudah ada datasemen Angkatan Laut di Tanjung Priok dan Surabaya. Namun akhirnya
Tentara ke-16 menyetujui Bukanfu
dengan tujuan meningkatkan kerjasama dan konsultasi antar kedua angkatan itu,
terutama untuk menjamin suplai bahan-bahan yang diperlukan pihak angkatan laut.
Bukanfu ini dikepalai oleh seseorang yang mempunyai hubungan baik dengan orang
Indonesia sebelum perang, bahkan dengan tokoh-tokoh nasional dan bersimpati
terhadap Kemerdekaan Indonesia. Ia adalah Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Karena sekutu di Pasifik
semakin melemahkan Angkatan Perang Jepang akhirnya Jepang mengubah sikap
politiknya terhadap Indonesia. Pada sidang istimewa parlemen di Tokyo, tanggal
16 Juni 1943 perdana menteri memutuskan untuk memberi kesempatan kepada orang
Indonesia untuk ikut serta mengambil bagian dalam pemerintahan negara, yakni
meliputi pembentukan badan-badan pertimbangan di daerah dan di pusat, serta
jabatan-jabatan tinggi untuk orang Indonesia sebagai penasehat pada
pemerintahan militer.
Comments
Post a Comment